Senin, 11 Mei 2015

Tasawuf Akhlaqi


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan segala limpahan rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. shalawatpun kami sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw  beserta keluarga dan  sahabat sahabatnya. Kami juga menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing  Bapak Nanang Nurcholis,   karena atas bimbingannya penulis mampu menghadirkan sebuah makalah yang di harapkan mampu memberi hasanah pengetahuan.
Tugas ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasawuf. Dan juga kami mengucapkan terimakasih kepada:
1.    Nanang Nurcholis., MA selaku dosen pembimbing mata kuliah Tasawuf.
2.    Orang tua yang telah banyak memberikan semangat dan arahan kepada kami sehingga terwujudnya makalah ini.
3.    Seseorang yang selalu ada di hati kami, terima kasih atas kesetiaanmu serta nasihat dan motivasi yang telah diberikan.
4.    Semua pihak yang tidak sempat kami sebutkan satu per satu yang turut membantu kelancaran dalam penyusunan makalah ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan hasanah pengetahuan khususnya bagi para pembaca mengenai tasawuf akhlqi. Mudah-mudahan makalah ini dapat  bermanfaat bagi para pembaca, tholabul “ilmi amin.











DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................................. 1
Daftar Isi ....................................................................................................... 2
BAB I Pendahuluaan
a.       Latar Belakang ................................................................................... 3
b.      Rumusan Masalah.............................................................................. 3
BAB II Pembahasan
a.       Pengertian Tasawuf Akhlaqi ............................................................. 4
b.      Konsep Ajaran Tasawuf Akhlaqi ...................................................... 4
c.       Sejarah perkembangan Tasawuf Akhlaqi ..........................................6
d.      Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaqi .......................................................... 8
BAB III Penutup
a.       Kesimpulan ........................................................................................ 12
Daftar Pustaka ................................................................................................ 13














BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawuf dalam islam menurut para ahli sejarah sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Lahir sekitar abad ke-2 atau awal abad ke-3 hijriyah. Pembicaraan para ahli lebih banyak menyoroti faktor-faktor yang mendorong kelahiran tasawuf. Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik islam hingga zaman modern sekarang sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit.Tasawuf pada zaman dulu terlihat dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu. Sejarah perkembangan tasawuf akhlaqi mengalami beberapa fase. Mulai abad kesatu sampai abad keenam hijriyah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi tasawuf Akhlaqi?
2.      Bagaimana konsep tasawuf ?
3.      Bagaimana sejarah lahirnya tasawuf akhlaqi ?
4.      Siapa saja tokoh tasawuf akhlaqi ?



















BAB II    
PEMBAHASAN

A.    Definisi Tasawuf  Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang konsentrasinya pada teori- teori perilaku, akhlak atau budi pekerti. Tasawuf ini banyak dikembangkan oleh ulama-ulama salaf[1]. Dan dengan metode-metode tertentu yang telah ditentukan, tasawuf berbentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (mahmudah) di dalam diri para sufi, atau bisa juga disebut sebagai tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah dengan penuh disiplin mengikuti batas-batas dan ketentuan-ketentuannya[2].
B.     Konsep Tasawuf
Menurut para sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya. Manusia telah dikendalikan oleh hawa nafsunya maka dia telah mempertuhankan nafsunya tersebut. Dengan penguasaan nafsu tersebut di dalam diri seseorang maka berbagai penyakitpun timbul didalam dirinya, seperti sombong, membanggakan diri, riya, buruk sangka, kikir dan sebagainya. Penyakit-penyakit yang ada di dalam diri ini oleh kaum sufi disebut sebagai maksiat batin ,akhlak yang tercela (mazmumah).
Untuk tujuan menghilangkan penghalang yang membatasi manusia dengan Tuhannya inilah, ahli-ahli tasawuf menyusun sistem atau cara yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang diberi nama ; Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.[3]
1.      Takhalli adalah langkah pertama yang dilakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha membersihkan diri dari semua perilaku yang tercela, baik maksiat batin maupun maksiat lahir. Maksiat-maksiat ini harus dibersihkan, karena menurut para sufi semua itu adalah najis maknawiyah yang menghalangi seseorang untuk dekat dengan Tuhannya, sebagaimana najis zati yang menghalangi seseorang daripada melakukan ibadah kepada-Nya.
Hal ini dipertegas dalam firman Allah yang berbunyi :

           
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya".
Diantara sifat-sifat buruk yang mesti dibersihkan dari hati tersebut adalah hasad (dengki), su'u al-dzan (buruk sangka), kibr (sombong), 'ujub (merasa besar diri), riya (pamer), suma' (cari nama), bukhul (kikir), hubb al-mal (cinta harta), tafahur (membanggakan diri), ghadab (pemarah), ghibah (pengupat), namimah (bicara di belakang orang), kizb (dusta), khianat (munafik). Takhalli juga berarti melepaskan diri dari ketergantungan kepada kelezatan hidup dunia dengan melenyapkan dorongan hawa nafsu. Di antara para sufi ada yang berpandangan bahwa nafsu mesti dibunuh karena menjadi puncak angkara murka, penghalang untuk dapat dekat dengan Tuhan. Sementara al-Ghazali berpendapat bahwa nafsu juga diperlukan di dalam kehidupan ini, untuk memotivasi kehidupan, harga diri, membela keluarga dan sebagainya, karena itu nafsu mesti tetap ada di dalam diri.
2.      Tahalli adalah langkah berikutnya yang mesti dilalui oleh seorang sufi. Tahapan ini adalah tahapan pengisian jiwa setelah dikosongkan dari akhlak-akhlak yang tercela. Akan tetapi begitu satu sifat tercela dibuang bersamaan dengan itu sifat terpuji diisikan. Begitu rasa benci dikikis langsung rasa cinta ditanamkan. Diantara sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting untuk diisikan ke dalam jiwa manusia adalah,
1)      al-taubah, yaitu rasa penyesalan sungguh – sungguh dalam hati yang disertai permohonan ampun serta berusaha meninggalkan perbuatan yang menimbulkan dosa.
2)      al-khauf wa alraja', yaitu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan seringkali lalai kepada Allah.
3)      al-zuhd,yaitu meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.
4)      Al-faqr sikap yang tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.
5)      Al-shabr yaitu suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian.
6)      al-ridha, yaitu menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah
7)      al-muraqabah yaitu sikap siap dan siaga setiap saat untuk meneliti keadaan diri sendiri
Apabila sifat-sifat buruk telah dibuang, kemudian sifat-sifat baik telah ditanamkan, maka akan lahirlah kebiasaan-kebiasaan baik, akhlak yang mulia. Berbuat, bertingkah laku, bertindak tanduk dalam kerangka bimbingan sifat-sifat yang mulia yang telah ditanamkan di dalam diri. Sejalan dengan itu, jiwapun akan menjadi bersih maka seseorang akan dapat dekat dengan Tuhannya.
3.      Tajalli adalah tersingkapnya nur ghaib. Agar apa yang telah diupayakan pada langkah-langkah di atas langgeng, berkelanjutan dan terus meningkat, maka mesti rasa ketuhanan terus dipupuk di dalam diri. Diantara para ahli ada yang mendefinisikan bahwa tajalli adalah lenyapnya hijab dari sifat-sifat kemanusiaan, jelasnya nur yang selama ini gaib, lenyapnya (fananya) segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah". Untuk memperdalam dan melanggengkan rasa kedekatan dengan Tuhan ini para sufi mengajarkan hal-hal berikut;
(1)   Munajat : berarti memuja dan memuji keagungan Allah dengan sepenuh hati. Mengungkapkan seluruh aktifitas yang telah dilakukan, menyampaikan harapan-harapan (doa) dengan sepenuh hati, menggunakan kata-kata yang tersusun baik, dengan deraian air mata.
(2)   Muhasabah seperti yang telah dikatakan oleh Al-Ghazali adalah "selalu memikirkan dan merenungkan apa yang telah diperbuat". seorang sufi akan terus memikirkan dan merenungkan kesalahan-kesalahan apa yang telah dilakukan. Memikirkan dan merenungkan kekurangan-kekurangan di dalam ibadahnya. Memikir dan merenung perbaikan-perbaikan yang mesti diperbuat.
(3)   Muraqabah berarti       meyakini dan   merasakan senantiasa berhadapan dengan Allah SWT. Seluruh aktifitas baik yang bathiniyah maupun yang   dzahiriyah.
(4)   Katsarat al-dizkr berarti memperbanyak dzikir kepada Allah.
(5)   Tafakkur arti merenungkan alam yang terbentang luas ini. Berjuta pelajaran yang dapat dipetik darinya dalam meningkatkan rasa kedekatan dengan Tuhan. Tidak ada kesia-siaan dalam penciptaan Allah. Dari serangga yang paling kecil sekalipun orang dapat mengambil pelajaran.
C.     Sejarah Tasawuf
Abu al-Wafa’al-Ghanimi al-Taftazani dalam bukunya “Madkhal ila al-Tasawuf al-Islam menjelaskan aliran Tasawuf sunni adalah aliran sufi yang pendapat moderat dan ajaran tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah atau denagn kata lain tasawuf aliran ini akan selalu berpatokan syari’at. Aliran ini tumbuh dan berkembang pada abad kelima Hijriah.Aliran tasawuf sunni ini mendapat sambutan seiring dengan berkembangnya aliran teologi Ahlussunnah wal jamaah yang dilancarkan oleh Abu al-Hasan al-Asya’ri atas aliran-aliran lainnya dengan kritiknya yang luras terhadap keekstriman tasawuf Abu Yazid al-Busthami al-Halley dan para sufi lainnya.
Tasawuf Sunni mengadakan pembaharuan dengan mengembalikan tasawuf ke landasan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah kepada kedua landasan tersebut. Tokoh yang paling berpengaruh dalam aliran ini adalah al-Qusyairi, al-Harawi, dan al-Ghazali. Dengan demikian pada abad kelima Hijriah, Tasawuf sunni berada dalam posisi yang sangat menentukan dan memungkinkan tersebar luas di kalangan masyarakat Islam sampai sekarang.[4]
Tasawuf sunni ialah aliran tasaawuf  yang berusaha memadukan asapek hakekat dan syari’at,  yang
senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada allah, dengan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat.[5] Tasawuf Akhlaqi yaitu tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis (moral).
Tasawuf sunni banyak berkembang di dunia Islam, terutama di Negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i. Tasawuf ini sering digandrungi orang karena paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit.
Latar belakang munculnya ajaran ini tidak telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang  melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf lebih-lebih pada abad  ke-5 H aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk memngembalikan kepemimpinan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in. dengan ketegangan inilah muncullah sang pemadu syari’at dan hakekat yaitu Imam Ghazali.[6]


D.    Tokoh-tokoh tasawuf
1.      Hasan Al-Bashri
a.       Biografi Singkat
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Said Al-Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang sangat amat mashur dikalanagan tabiin ia lahir di madinah pada tahun 21 Hijriyah (632 Masehi) dan wafat pada hari kamis bulan rojab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum kholifah Umar bin Khattab wafat. Ia di kabrakan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan badar dan 300 sahabat lainnya.[7]
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan jiwa di masjid basroh. Karir pendidikan hasan Al-Basri di nilai dari Hijaz. Ia berburu hamper kepaada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya ia kemudian pindah ke basroh, tempat yang membuatnya mashur dengan nama Hsan Al-Basri puncak keilmuannya ia peroleh disana. Dia kenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalammemperjuangkan dalam kebenaran.
b.      Ajaran-ajaran Tasawuf
Pandangan tasawuf Hasan Al-basri adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangannya. Ia pernah berkata, “ demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia.”
Ajaran-ajaran Hasan Al-Basri
1.      Perasaan takut yang menybabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
2.      Dunia adalah negri tempat beramal.
3.      Tafakkur membawa kitab pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi.
4.      Dunia adalah sorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa ditinggalkan mati suaminya.
5.      Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari, karena berada diantara 2 perasaan takut : takut mengenang dosa yang telah lampau, dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
6.      Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang akan senantiasa mengancamnya, akan kiamat yang akan menagih janjinya.
7.      Banyak duka cita didunia memperteguh semangat amal sholeh.

2.      Al- Muhassibi (165-243 H)
a.       Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Lahir di Bashroh, Irak, tahun 165 H/781 M. Meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M . beliau adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti Tasawuf, Hadits, dan Fiqih. Ia merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa.[8]
            Al-Muhasibi menulis sejumlah buku. Menurut Abd Al-Mun’im Al-Hafni, seorang ahli tasawuf dari mesir Al-Muhasibi menulis kurang lebih 200 buku. Al-Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya.tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat islam, Al-Muhasibi menemukan kelompok-kelompok. Diantara mereka ada sekelompok orang yang tau benar tentang keakhiratan. Namun jumlah mereka sangat sedikit. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan pada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani rosul.
Ajaran-ajaran tasawuf beliau adalah Ma’rifat, khauf dan Raja’.
3.      Al-Ghozali
Al-Gozali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah seorang ahli sains terkemuka. Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.
Pendidikannya dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu Muhammad al – Razkani al – Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan bahasa, setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf al – Nassaj (wafat 487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul Ma’al al-Juwaini yang bergelar Imam al – Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al – Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al – Farmadi, dan ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh. Setelah Imam al – Juwaini wafat ia pindah ke Mu’askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H,
C.     Ajaran-Ajaran
Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Gozali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam. Corak tasawuf al-ghozali adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Dapat dilihat dari karya-karyanya seperti ihya’ Ulum Ad-din, Minhaj Al-Abidin, Bidayah Al-Hidayah.
Al-ghozali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasadan berolah jiwa, sehingga sampai pada makrifat yang membantu meniptakan(sa’adah).
a.       Ma’rifat menurut ajaran Al-ghozali, sebagai mana dijelaskan oleh Harun Nasution, Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada.[9] Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sirr, qalb dan ruh. Qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Allah dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong tidak ber isi apapun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi dari Allah. Dan pada waktu itu pula menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah.
b.      Sa’adah menurut Al-ghozali , kelezatan dan keni’matan tertinggi adalah melihat Allah. Didalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Ni’matnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian dengan anggota tubuh yang lain, memiliki keni’matan tersendiri.




















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang konsentrasinya pada teori- teori perilaku, akhlak atau budi pekerti. Tasawuf ini banyak dikembangkan oleh ulama-ulama salaf. Tasawuf akhlaqi banyak berkembang di dunia Islam, terutama di Negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i. Tasawuf ini sering digandrungi orang karena paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit. Latar belakang munculnya ajaran ini tidak telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang  melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf lebih-lebih pada abad  ke-5 H aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk memngembalikan kepemimpinan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in. dengan ketegangan inilah muncullah sang pemadu syari’at dan hakekat yaitu Imam Ghazali.















DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978
Prof. Dr. M.Sholikin M.Ag, Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, CV Pustaka Setia, Bandung, 2008,
Damanhuri, Akhlak Tasawuf, Banda Aceh, PENA, 2010.
Tesa Amienraka, Sejarah perkembangan tasawuf, http://amienrakatesa.blogspot.com/2012/05/sejarah perkembangan-tasawuf.html (diakses pada Rabu, 17 April 2013, 22:01)


[1]        Drs H. M. Jamil, MA.Cakrawala Tasawuf : Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas Jakarta : Gaung Persada Press, 2004, hal 30
[2]         Ibid,hal. 36
[3]         Prof. Dr. M.Sholikin M.Ag, Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, CV Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm 122

[4]         Damanhuri, Akhlak Tasawuf, Banda Aceh, PENA, 2010.
[5]         Amienraka Tesa, Sejarah perkembangan tasawuf, http://amienrakatesa.blogspot.com/2012/05/sejarah perkembangan-tasawuf.html (diakses pada Rabu, 17 April 2013, 22:01)
[6]         Amienraka Tesa, Op. Cit.,
[7]          Prof. Dr. M.Sholikin M.Ag, Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, CV Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm 122
[8]         Prof. Dr. M.Sholikin M.Ag, Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, CV Pustaka Setia, Bandung, 2008,hal 126
[9]        Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978,hlm.78.