Rabu, 12 November 2014

Makalah Fiqh Ibadah_Ibadah

TUGAS MAKALAH
IBADAH
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Kelompok  pada Mata Kuliah Fiqh Ibadah
Dosen: Bapak M.Nadzir, M.SI




Disusun oleh kelompok 1:

1.    Muzzaki Mahfudz        (136014916)
2.    Muhammad azka        (136014913)
3.    Vicry Mayank Sari M    (1360149
4.    Dwi febriani Yoga N    (1360149
5.    AH. Muhbibuddin        (136014960)


PAI /A1
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT,karena dengan segala limpahan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang ibadah ini. shalawatpun penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw  beserta keluarga dan  sahabat sahabatnya. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing  Bapak M.Nadzir M.SI karena atas bimbingannya penulis mampu menghadirkan sebuah makalah yang di harapkan mampu memberi hasanah pengetahuan .
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan hasanah pengetahuan khususnya bagi para pembaca mengenai pandangan alam tentang kejadian alam semesta.mudah mudahan makalah ini dapat  bermanfaat bagi para pembaca, tholabul “ilmi amin.

Semarang, 11 Oktober 2014

Penyusun

                                            






DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................. ii





















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang Masalah
Ibadah merupakan suatu perkara yang perlu adanya perhatian dengannya, karena ibadah itu tidak bisa dibuat main-main apalagi disalahgunakan. Dalam islam ibadah harus berpedoman pada apa yang telah Allah perintahkan dan apa yang telah diajarkan oleh Nabi agung  Muhammmad SAW kepada umat islam yang dilandaskan pada kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad  berupa kitab suci Al-Qur’an dan segala perbuatan, perkataan, dan ketetapan nabi atau dengan kata lain yang disebut dengan hadits nabi.
Kita sebagai umat islam tentunya mengetahui apa itu ibadah dan bagaimana cara pelaksanaan ibadah tersebut. Oleh karena itu, kita harus mengikuti ibadah yang dicontohkan dan dilakukan oleh nabi kepada kita dan tidak boleh membuat ibadah-ibadah yang tidak berdasar pada Al-Qur’an dan Hadits.
B.    Rumusan masalah.
1.    Apa pengertian ibadah ?
2.    Bagaimana kedudukan ibadah dalam islam ?
3.    Bagaimana pula dasar hukum ibadah ?
4.    Bagaimana Hakikat ibadah ?
5.    Apa saja Jenis-jenis ibadah ?
6.    Apa saja prinsip dan fungsi ibadah ?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian ibadah.
Menurut bahasa, kata ibadah  berarti patuh (al-tha’ah), dan tunduk (al-khudlu). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri . Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah.
Ibadah secara etimologi berasal dari kata bahasa Arab yaitu “abida-ya’budu-‘abdan-‘ibaadatan” yang berarti taat, tunduk, patuh dan merendahkan diri. Kesemua pengertian itu mempunyai makna yang berdekatan. Seseorang yang tunduk, patuh dan merendahkan diri dihadapan yang disembah disebut “abid” (yang beribadah).
Pengertian ibadah secara terminologis menurut ulama tauhid, dan hadits ibadah adalah:
تَوْحِدُ اللهِ وَتَعْظِمُهُ غَا يَةَ التَّعْظِيْمِ مَعَ التَّذَ لُّلِ وَالْخُضُوْعِ لَهُ
“Mengesakan dan mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa kepadanya.”
Para ahli di bidang akhlak mendefisikan ibadah sebagai berikut:
الْعَمَلُ بِالطَّا عَا تِ الْبَدَ نِيَّةِ وَالْقِيَامُ بِالشَّرَاءِ    
“Mengerjakan segala bentuk kataatan badaniyah dan menyelenggarakan segala syariat (hukum).”
Ulama tasawuf mendefinisikan ibadah sebagai berikut:
فِعْلُ الْمُكَلَّفِ عَلَى خِلاَفٍ هُوَ نَفْسِهِ تَعْظِيْمًا لِرَبِّهِ
 “Pekerjaan seorang mukallaf yang berlawanan dengan keinginan nafsunya untuk membesarkan Tuhannya.”
Menurut ahli fiqih ibadah adalah :
مَا إِبْتِغَاءًلِوَجْهِ اللهِ وَطَلَبًا لِثََوْابِهِ فِى اْلاَخِرَةِ 
 “Segala bentuk ketaatan yang engkau kerjakan untuk mencapai keridaan Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.”

Menurut Jumhur Ulama :
الْعِبَادَةُ هِىَ اِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ قَوْلاً كاَ نَ إَوْ فِعْلاً جَلِيًّا كاَ نَ إَوْ خَفِيًّا تَعْظِيْمًا لَهُ وَ طَلَبًا لِثَوَابِهِ
“Ibadah itu yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridai oleh Allah SWT , baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya.
B.    Kedudukan ibadah dalam islam.
Ada 4 kedudukan tentang ibadah yaitu:
1.    Al-yaqdzoh (dalam keadaan sadar), dalam ibadah diharuskan untuk menghadirkan hati agar jangan sampai lalai. Allah berfirman (Qs. Saba’ 46). Maka makna berdiri shalat untuk Allah adalah dengan sadar tidak dalam keadaan lalai dan dalam keadaan berdiri. Karena Allah telah mencela di dalam kitab-Nya orang-orang yang lalai dari ibadahnya. Allah berfirman: (Qss. Al-Kahfi 57). Maka hendaknya orang yang pernah lalai dalam shalatnya ia bertaubat dengan diiringi ilmu dan amal dan diiringi pula dengan rasa menyesal serta selalu minta ampun kepada Allah, serta meminta untuk ditamhis yaitu membersihkan imannya dari berbagai hal yang mengotorinya baik dari perbuatan syirik ataupun yang lainnya, karena seseorang tidak akan masuk surga hingga imannya menjadi baik dan bersih. Allah berfirman: (Qs. Az-Zumar 73). Adapun upaya melakukan tamhis ketika berada didunia adalah dengan melakukan empat hal yaitu Pertama dengan taubat, Kedua istighfar (meminta ampun kepada Allah), Ketiga berbuat amal kebaikan untuk menghapus dosa yang pernah ia lakukan, Keempat sabar ketika menghadapi musibah maka apabila keempat hal ini belum terpenuhi maka belum dikatakan bertaubat nashuha.

2.    Bertafakur Yaitu memusatkan hati pada suatu segi yang dapat direnungi, adapun bertafakur itu sendiri terbagi menjadi dua macam yaitu yang berhubungan dengan ilmu dan ma’rifah dan fikroh yang berhubungan dengan permintaan dan keinginan.
Adapun yang berkenaan dengan ilmu dan ma’rifah yaitu fikiran yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil dan mana yang harus ditetapkan dan dinafikkan. Sedangkan yang berhubungan dengan permintaan dan keinginan adalah pemikiran yang dapat membedakan antara yang bermanfaat dan mendatangkan mala petaka.
3.    Bashirah (cahaya dalam hati).
Bashirah adalah cahaya yang terdapat didalam hati yang dengannya dapat melihat mana janji dan mana ancaman, mana surga dan mana neraka, dan apa yang Allah janjikan kepada para wali-Nya dan apa yang Allah ancamkan kepada para musuh-musuh-Nya.
Dan ada pula yang mengatakan bahwa bashirah adalah cahaya hati yang dapat melihat apa yang telah Rasulullah kabarkan sebagaimana ia menyaksikannya dengan kedua matanya. Bashirah mempunyai tiga tingkatan, barang siapa yang telah sempurna ketiganya maka telah sempurnalah bashirahnya. Ketiga tingkatan tersebut adalah:
a.    Bashirah terhadap asma’ dan sifat. Yaitu imannya tidak tercampuri oleh syubhat yang bertentangan dengan sifat yang telah Allah sifatkan bagi diri-Nya dan yang telah rasul sifatkan untuk-Nya, terlebih syubhat keragu-raguan akan keberadaan Allah, hal ini lebih bahaya.
b.    Bashirah terhadap perintah dan larangan, maka didalam hatinya hendaknya tidak ada syubhat yang bertentangan terhadap ilmu tentang perintah Allah dan larangan-Nya dan tidak mengikuti syahwat yang menghalangi untuk melaksankan perintah tersebut dan menjauhi larangan Allah serta tidak taklid akan tetapi hendaknya ia mencurahkan kemampuannya untuk mengetahui dasar-dasar yang ia amalkan;
c.    Bashirah pada hal janji dan ancaman, yaitu dengan menyakini bahwa Allah akan memberi balasan kepada setiap jiwa sesuai dengan apa yang telah dilakukan baik dari amalan baik maupun jelek, baik balasan tersebut disegerakan ataupun diakhirkan.
4.    Azam adalah tujuan yang sudah pasti berhubungan dengan pekerjaan. Dan ada juga sebagian ulama yang mendefinisikan sebagai suatu kumupulan keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu. Dan azam itu sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu Pertama berazam ketika ingin melakukan amal Kedua Berazam ketika sedang melakukan amal.

C.    Dasar hukum ibadah.
Ibadah adalah cinta dan ketundukan yang sempurna.
Firman Ilahi Allah swt, berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S Al-Dzariyat : 56)
            Demikian pula firman Allah berikut :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (Q.A Al-Baqarah : 21)
            Dasar Ilmu Fiqih :
Dasar ilmu Fiqih Ibadah adalah yakni al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. As-Sunnah Al-Maqbulah artinya sunnah yang dapat diterima.


Dalam kajian hadis sunnah al-Maqbulah dibagi menjadi dua, Hadis Shahih dan Hadis Hasan. Hal ini disandarkan pada hadis berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku meninggalkan untukmu dua perkara, kamu tidak akan tersesat jika berpegang pada keduanya, yakni: Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunah Nabi.
D.    Hakikat ibadah.
Dalam syariat islam ibadah mempunyai dua unsur, yaitu ketundukan dan kecintaan yang paling dalam kepada Allah SWT. Unsur yang tertinggi adalah ketundukan, sedangkan kecintaan merupakan implementsi dari ibadah tersebut. Disamping itu ibadah juga mengandung unsur kehinaan, yaitu kehinaan yang paling rendah di hadapan Allah SWT. Pada mulanya ibadah merupakan “hubungan” hati dengan yang dicintai, menuangkan isi hati, kemudian tenggelam dan merasakan keasyikan, akhirnya sampai kepada puncak kecintaan kepada Allah SWT.
Orang yang tunduk kepada orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak dinamakan ‘abid (orang yang beribadah), begitu juga orang yang cinta kepada sesuatu tetapi tidak tunduk kepadanya, seperti orang yang mencintai anaknya atau temannya. Kecintaan yang sempurna adalah kepada Allah SWT. Setiap kecintaan yang bersifat sempurna terhadap selain Allah SWT adalah batil.
E.    Jenis ibadah.
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1.    Ibadah Mahdhah,  artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip:
a.    Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b.    Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw.
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
c.    Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d.    Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
2.    Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah) yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya .  Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a.    Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b.    Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c.    Bersifat rasional,  ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, danmadharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d.    Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
F.    Kategori-kategori Ibadah.
Kategori-kategori ibadah :
1.    Ibadah I’tiqodiyah (keyakinan)
Ibadah I’tiqodiyah adalah ibadah yang berhubungan dengan keyakinan dan keimanan, seperti iman kepada rukun iman, dan iman kepada yang ghaib
2.    Ibadah Qolbiyah (ibadah hati)
Ibadah qolbiyah adalah amalan-amalan ibadah yang lebih banyak dilakukan dengan hati, yang tidak boleh di tujukan dan dimaksudkan kecuali hanya kepada Allah. Seperti Hubb (cinta), Tawakkal, Sabar, Khauf (takut), Roja’ (berharap) dan taubat.
3.    Ibadah Lafzhiyah
Ibadah lafzhiyah adalah amalan-amalan ibadah yang lebih banyak dilakukan dengan lisan. Seperti mengucap kalimat-kalimat thoyyibah, dzikir dan membaca Al-Qur’an.

4.    Ibadah Jasadiyah (badan)
Ibadah jasadiyah adalah amalan-amalan ibadah  yang lebih banyak dilakukan dengan badan/jasad seperti ruku’, sujud, thawaf dll.
5.    Ibadah Maliah (harta)
Ibadah maliah adalah amalan-amalan ibadah  yang lebih banyak dilakukan dengan sarana harta benda dan kekayaan. Seperti zakat, infaq dan shodaqoh, dll.
Walaupun ibadah diatas dikategorikan sesuai dominasi yang melakukannya, namun ibadah-ibadah itu dapat juga di lakukan dengan gabungan anggota badan yang melakukannya, contoh Ibadah Haji adalah hati harus meyakini bahwa haji adalah wjib bagi yang mampu, saat ibadah haji lisan terus mengumandangkan kalimat talbiyah (لبيك اللهم لبيك ) anggota badan melakukan amalan-amalan haji, dan tentunya harta juga memegang peranan penting, sebagai ongkos dan bekal baik untuk yang pergi maupun untuk yang di tinggalkannya.
G.    Prinsip dan fungsi ibadah.
1.    Prinsip ibadah itu ada  yaitu:
a.    Niat lillahi ta’ala (Q.S.Alfatihah 1:5)
b.    Ikhlas (Al-Bayinah/98:5)
c.    Tidak menggunakan perantara (washilah) (Al-Baqarah/2: 186)
d.    Dilakukan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah.
e.    Seimbang antara dunia akherat (Al-Qashash/28:77)
f.    Tidak berlebih-lebihan (Al-A’raf/7:31)
g.    Mudah (bukan meremehkan) dan Meringankan Bukan Mempersulit (Al-Baqarah/2:286)
2.    Fungsi ibadah itu ada 2 yaitu:
a.    Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
b.    Mendidik mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ibadah adalah segala bentuk hukum, baik yang dapat dipahami maknanya (ma’qulat al-ma’na) seperti hukum yang menyangkut dengan muamalah pada umumnya, maupun yang tidak dapat dipahami maknanya (ghair ma’qulat ma’na), seperti thaharah dan shalat, baik yang berhubungan dengan anggota badan seperti rukuk dan sujud maupun yang berhubungan dengan lidah seperti zikir, dan hati seperti niat.
Melalui ibadah (pengabdian) kepada Allah, hidup manusia terkontrol. Di mana pun dan dalam keadaan apa pun, manusia dituntut untuk selalu dalam keadaan sadar sebagai hamba Allah dan mampu menguasai dirinya, sehingga segala sikap, ucapan, dan tindakannya selalu dalam kontrol Ilahi.
Jenis Ibadah itu ada dua yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.














DAFTAR PUSTAKA
Daradjat , Zakiyah.  ILMU FIQIH, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995
Saleh, Hasan. Kajian Fiqih Nabawi dan Kontemporer, Jakarta: Karisma Putra Utama Ofset. 2008.
Al-Qardhawi, Yusuf, Al-‘Ibadah fi al-Islam, Beirut: Muassasah al-Risalah. 1979.
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2.
Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2.
http://mujahiduna-mujahiduna.blogspot.com/2011/03/ibadah.html, diakses pada 04 Maret 2013 pukul 20.15
http://lpsi.uad.ac.id/fiqih-ibadah-dan-prinsip-ibadah-dalam-islam.asp,diakses pada 04 Maret 2013 pukul 21.00

Rabu, 05 November 2014

Larangan Monopoli & Larangan terhadap Tengkulak



KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan segala limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa sholawat pun penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Dosen pembimbing Bapak Ghufron Hamzah, M.Si. karena atas bimbingannya penulis mampu menghadirkan sebuah makalah yang diharapkan mampu memberi hasanah pengetahuan.
            Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan hasanah pengetahuan khususnya bagi para pembaca mengenai ilmu ushul fiqh yang berkaitan dengan konsep dan penyesuaian diri. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca  “tholabul ilmi”. Amin.






                                                                                    Semarang, 3 Oktober 2014

Penyusun




DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah..................................................................................... 3    
B.     Rumusan Masalah............................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Larangan Terhadap Tengkulak .......................................................................... 4
B.     Larangan Menimbun Barang Pokok atau Monopoli .......................................... 6
a. Monopoli Yang Haram .................................................................................. 6
b. Monopoli Yang Dibolehkan .......................................................................... 7
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ........................................................................................................ 8
B.     Saran .................................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 9










BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam agama Islam kita memang di halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui berbagai macam usaha seperti bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau jual beli. Namun tentu saja kita sebagai orang yang beriman diwajibkan menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus menurut Alquran dan Sunnah, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.
Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi apa yang telah di syariatkan tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat.
Selain harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukm islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita tidak terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT, untuk itulah dalam makalah sederhana ini saya akan membahas satu dari sekian banyak jual beli yang tidak diperbolehkan, yaitu monopoli atau Ihtikar. Tentang apa dan bagaimana ihtikar itu menurut pandangan hukum islam.

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang larangan menimbun barang pokok dan monopoli di atas, dapat kita ambil masalah-masalah mendasar terhadap jual beli yang tidak diperbolehkan (monopoli atau ihtikar), antara lain;
a)    Larangan terhadap tengkulak.
b)   Larangan menimbun barang pokok atau monopoli.
c)    Monopoli yang diharamkan.
d)   Dan yang terakhir monopoli yang diperbolehkan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Larangan Terhadap Tengkulak
Dalam Bulughul Maram Hadits No. 827;
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ اَلْمُحَاقَلَةِ, وَالْمُخَاضَرَةِ, وَالْمُلَامَسَةِ, وَالْمُنَابَذَةِ, وَالْمُزَابَنَةِ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Artinya: “Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah”. HR. Bukhari.
Menjual kurma basah dengan kurma kering dengan takaran (yang sama) dan menjual anggur segar dengan anggur kering (kismis) dengan takaran. Dalam hadis diatas telah dijelaskan bahwa kelima jenis jual beli tersebut dilarang oleh Rosululloh saw. Karena system jual beli tersebut dapat merugikan salah satu pihak. Sebagaimana dalam Shahih Bukhori, hadis nomor 2312 juga dijelaskan mengenai terlarangnya jual beli yang merugikan salah satu pihak, karena didalamnya mengandung riba. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Said al Khudriy ra. Bahwa suatu ketika beliau membawa kurma kepada Nabi. Kemudian beliau bertanya mengenai asal usul kurma tersebut , lalu beliau menceritakannya. Bahwa kurma tersebut berasal dari akad jual beli (barter) kurma kering 2 sha’ dengan kurma yang baik 1 sha’. Lalu Rosul bersabda” Hati-hati, hati-hati ini riba, ini riba, jangan lakukan. Apa bila kamu ingin membeli kurma yang bagus maka jual terlebuh dahulu kurmamu yang jelek, kemudian hasil penjualanya gunakan untuk membeli kurma yang bagus”. Dr. Nasrun Haroen, MA mengatakan bahwa dalam syariat Islam ditetapkan hak khiyar bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan.
Dengan demikian ulama’ fikih sepakat menyatakan bahwa jual beli yang mengandung unsur penipuan, seperti almulamasah dan almuzabanah adalah tidak sah atau batil. Sebagaimana jumlah ulama membagi jual beli menjadi dua, yaitu sah dan batil. Namun Ibnu Qoyyim al  Jauziyah seorang pakar fikih hanbali berpendapat, bahwa jual beli yang ketika berlangsung akad barangnya tidak ada, tetapi diyakini akan ada dimasa yang akan datang sesuai dengan kebiasaannya, maka boleh dan sah jual belinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dilarangnya lima macam jual beli diata berhak untuk memilih untuk membatalkan penjualan.
عَنْ طَا وُسٍ عَنْ اِبْنِ عَبَّا سٍ قَا لَ : قَا لَ رَسُوْلُ اللهِ ص م ( لاَ تَلَقُّوْا ا لرُّ كْبَا نَ, وَلاَ يَبِعْ حَا ضِرٌ لِبَا دٍ ) قُلْتُ لاِ بْنِ عَبَّا سٍ: مَا قَوْ لُهُ ( وَلاَ يَبِعْ حَا ضِرٌ لِبَا دٍ؟ قَا لَ : لاَ يَكُوْ نُ لَهُ سِمْسَا رًا.
متفق عليه
Artinya:“Dari thawus dari Ibnu abbas ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “ Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kota menjual buat orang desa.” saya bertanya kepada Ibnu abbas, ” Apa arti sabdanya.? “Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan jangan orang-orang kota menjualkan buat orang desa,” Ia menjawab: “Artinya janganlah ia menjadi perantara baginya”. (Muttafaq alaih , tetapi lafazh tersebut dari bukhari).
Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk ma’kah. Mereka dating bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah.
Oleh karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam. Rasulullah saw bersabda:
“apabila dua orang saling jual beli, maka keduanya memiliki hak memilih selama mereka berdua belum berpisah, dimana mereka berdua sebelumnya masih bersama atau selama salah satu dari keduanya memberikan pilihan kepada yang lainnya, maka apabila salah seorang telah memberikan pilihan kepada keduanya, lalu mereka berdua sepakat pada pilihan yang diambil, maka wajiblah jual beli itu dan apabila mereka berdua berpisah setelah selesai bertransaksi, dan salah satu pihak diantara keduanya tidak meninggalkan transaksi tersebut, maka telah wajiblah jual beli tersebut. (diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, sedangkan lafaznya milik muslim).
            Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa islam mensyari’atkan bahwa penjual dan pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam bertransaksi, sebab akan menimbulkan penyesalan atau kekecewaan. Islam menyari’atkan tidak hanya ada ijab Kabul dalam jual beli, tapi juga kesempatan untuk berpikir pada pihak kedua selama mereka masih dalam satu majlis.
            Menurut Hadawiyah dan Asy-syafi’I melarang mencegat barang diluar daerah, alasannya adalah karena penipuan kepada kafilah, sebab kafilah belum mengetahui harganya.
Malikiyah, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa mencegat para kafilah itu dilarang, sesuai dengan zahir hadits. Hanafiyah dan Al-Auja’I membolehkan mencegat kafilah jika tidak mendatangkan mudarat kepada penduduk, tapi jika mendatangkan mudarat pada penduduk, hukumnya makruh.

B. Larangan Menimbun Barang Pokok atau Monopoli Barang,
Dalam Bulughul Maram Hadits no. 833;
َوَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: ( غَلَا اَلسِّعْرُ بِالْمَدِينَةِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ اَلنَّاسُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! غَلَا اَلسِّعْرُ, فَسَعِّرْ لَنَا, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اَللَّهَ هُوَ اَلْمُسَعِّرُ, اَلْقَابِضُ, اَلْبَاسِطُ, الرَّازِقُ, وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اَللَّهَ -تَعَالَى-, وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Artinya: “Anas Ibnu Malik berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah terjadi kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, harga barang-barang melonjak tingi, tentukanlah harga bagi kami. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allahlah penentu harga, Dialah yang menahan, melepas dan pemberi rizki. Dan aku berharap menemui Allah dan berharap tiada seorangpun yang menuntutku karena kasus penganiayaan terhadap darah maupun harta benda (H.R. Imam Lima kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban).
Sabda Rasulullah SAW:
رواه أحمد.(لا يَحْتكِرُ إلاخَاطِىءُ) عَنْ رَسُوْ الله صَلى الله عَليْهِ وَسَلم قالَ   : وَ عَنْ مَعْمَرِ بْن ِعَبْدِ اللهِ رَضِيَ الله عَنْهُ
Artinya: “Dari Ma’mar Bin Abdullah RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:” Tidaklah orang yang menimbun barang (monopoli) kecuali orang yang bersalah”. (H.R. Ahmad)
Kata Al-Ihtikar yaitu orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok masyarakat untuk dijula kembali, namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu kenaikan harga. Ini merupakan pengertian secara terminologi. Kata al-Khaati’; Ar-Raqhib berkata“Al-khata’adalah merubah arah. Monopoli adalah membeli barang perniagaan untuk didagangkan kembali dan menimbunnya agar keberadaaannya sedikit dipasar lalu harganya naik dan tinggi bagi si Pembeli.
Para ulama membagi monopoli kedalam dua jenis;
a)    Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat,
Sabda Rasulullah, riwayat Al-Asram dari Abu Umamah: 
أَنْ النبيُ صَلى الله عَليهِ وسلم نهَى أنْ يَحْتكِرُالطٌعَا مَ
Artinya:“Nabi SAW melarang monopoli makanan” Jenis inilah yang dimaksud dalam hadis bahwa pelakunya bersalah, maksudnya bermaksiat, dosa dan melakukan kesalahan”.
b)   Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan umum, seperti: minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak, pakan hewan.
Sehubungan dengan celaan melakukan penimbunan ini, telah disebutkan sejumlah hadis diantaranya:
Ø Hadits Umara dari Nabi SAW:         
مَنْ احْتَكَرَعَلى لمُسْلِمِيْنَ طَعَامُهُمْ ضَرَبَهُ اللهُ بِل اجُذامِ وَالاِ فْلاَ سِ
Artinya: “Siapa menimbun makanan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan penyakit dan kebangkrutan kepadanya”.
Ø Diriwayatkan Ibnu Majah dengan Sanad Hasan
اَجَالْ لِبُ مَرْزُوْقُ وَالمُحْتَكِرُمَلْعُوْنُ
Artinya: “Orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki dan orang yang menimbun akan dilaknat”.
Ø Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW:
مَنِ احْتَكَرَحُكْرَة ًيُرِيْدُأنْ يُغَالِيَ بِهَاعَلَى ا لمُسْلِمِيْنَ فَهُوَخَطِئَُ
Artinya: “Barang siapa yang menimbun barang terhadap kaum muslimin agar harganya menjadi mahal, maka ia telah melakukan dosa”.
Ø Dari ibnu Umar, dari Nabi SAW:
مَنْ احْتَكَرَطَعَمًاأرْبَعِيْنَ لَيْلة فَقَدْبَرِىءَمِنَ اللهَ وَبَرِىءَ مِنْهُ
Artinya: “Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh malam sungguh ia telah terlepas dari Allah dan Allah berlepas dari padanya”.
Para Ahli fiqih (dikutip Drs. Sudirman, M.MA) berpendapat menimbun barang diharamkan dengan syarat:
a.    Barang yang ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian untuk satu tahun.
b.    Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik.
c.    Menimbun itu dilakuakn saat manusia sangat membutuhkan.








BAB III
PENUTUPAN

A.  Kesimpulan
a)    Melarang jual-beli dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan).
b)   Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
c)    Kata Al-Ihtikar yaitu orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok masyarakat untuk dijula kembali, namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu kenaikan harga.
·      Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat.
·      Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan umum, seperti: minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak, pakan hewan.
d)   Para Ahli fiqih (dikutip Drs. Sudirman, M.MA) berpendapat menimbun barang diharamkan dengan syarat:
·      Barang yang ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian untuk satu tahun.
·      Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik.
·      Menimbun itu dilakukan saat manusia sangat membutuhkan.

B.  Saran
Penyusun memanjatkan puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat-NYA sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.penyusun menyadari bahwa dalam membuat makalah banyak terdapat kekurangan. Kiranya pembaca mau memberikan kritik dan saran kepada kami. Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.





DAFTAR PUSTAKA

Al Asqalani, Al Hafizh ibnu Hajar. 1989. Bulughul Maram. Semarang: Wicaksana.
Mannan, M. Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Bandung: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Qardawi, Yusuf. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surabaya : PT. Bina Ilmu.