KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT,
karena dengan segala limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Tak lupa sholawat pun penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Penulis juga menyampaikan rasa
terimakasih kepada Dosen pembimbing Bapak Mohammad Farid Fad, S.HI., M.SI.
karena atas bimbingannya penulis mampu menghadirkan sebuah makalah yang
diharapkan mampu memberi hasanah pengetahuan.
Adapun
tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan hasanah pengetahuan
khususnya bagi para pembaca mengenai ilmu ushul fiqh yang berkaitan dengan
konsep dan penyesuaian diri. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca “tholabul ilmi”. Amin.
Semarang, 17 Maret 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
COVER..........................................................................................................................
i
KATA PENGANTAR................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
KATA PENGANTAR................................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................
3
B. Rumusan Masalah...............................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah al-Mursalah ......................................................................
B. Macam – Macam Maslahat ................................................................................
C. Syarat – Syarat Maslahah al-Mursalah ......................................................................
D. Kehujjahan Maslahah al-Mursalah .....................................................................
E.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Permasalahan umat Islam di dunia ini setiap hari makin berkembang
dan kompleks. Keberadaan nash al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai referensi
utama semua hukum hanya mencakup permasalahan-permasalahan yang sangat global,
sedangkan permasalahan manusia sangat beragam bentuknya. Para ulama menggunakan
berbagai metode ijtihad yang digunakan untuk menggali hukum-hukum yang ada
dalam literatur nash.
Metode ijtihad yang beragam itu ada yang disepakati oleh semua
ulama tentang kehujjahannya, namun ada pula yang masih diperselisihkan para
ulama dalam hal kehujjahannya. Salah satu metode ijtihad yang masih
diperselisihkan adalah al-Mashlahah al-Mursalah. Berikut ini beberapa
rumusan masalah sekaligus pembahasannya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa definisi al-Mashlahah al-Mursalah?
2. Apa pembagian al-Mashlahah al-Mursalah?
3. Syarat - syarat al-Mashlahah
al-Mursalah?
4. Apa argumentasi penggunaan maupun penolakan al-Mashlahah
al-Mursalah?
5. Apa syarat-syarat penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai
metode ijtihad?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi al-Mashlahah al-Mursalah
Al-Mashlahah al-Mursalah adalah
sebuah istilah yang tersusun dari dua kata, yaitu mashlahat dan mursalat.
Kata mashlahat dalam bentuk lafadz sekaligus artinya itu sama dengan
lafadz manfa’at. Dalam bentuk lafadznya, kata mashlahat merupakan
bentuk mashdar dari shaluha. Sedangkan artinya secara bahasa
adalah kebaikan, kegunaan, validitas dan kebenaran.[2]
Mashlahat dengan syariat
mempunyai saling keterkaitan satu dan lainnya. Hal ini tergambarkan dalam 4 hal
berikut:[1]
1.
Syariat
Islam itu didasarkan pada mewujudkan kemaslahatan manusia dan mencegah
kerusakan pada mereka baik di dunia maupun di akhirat. Allah tidak
memerintahkan sesuatu kecuali yang mengandung kemaslahatan yang yang murni dan
unggul, serta tidak melarang sesuatu kecuali yang mengandung kerusakan yang
murni dan unggul.
2.
Syariat
Islam tidak pernah mengabaikan kemaslahatan sama sekali. Segala sesuatu yang
mengandung kemaslahatan selalu motivasi oleh Rasulullah untuk melakukannya, dan
yang mengandung kerusakan selalu diperingatkan oleh Rasul.
3.
Jika
hal tersebut diketahui maka tidak mengkin terjadi pertentangan antara syariat
dengan mashlahah. Karena tidak mungkin syariat Islam memerintahkan pada
kerusakan dan mencegah pada kemaslahatan.
4.
Apabila
ada orang yang mengatakan bahwasanya ada kemaslahatan yang tidak didukung oleh
syariat, maka hal itu ada dua kemungkinan:
Pertama : Bahwa ada tuntunan syariat menunjukkan pada kemaslahatan itu yang
mana orang tersebut tidak mengetahuinya.
Kedua : Bahwa hal yang diyakininya sebagai maslahat itu pada hakikatnya
bukanlah kemaslahatan, karena sebagian hal yang dianggap perbuatan ibadah oleh
manusia namun tidak disyariatkan oleh Islam itu kerusakannya lebih besar
daripada kemanfaatannya.
Adapun kata mursalat itu sama dengan kata muthlaqat,
baik dari segi lafadznya yang sama-sama bentuk mashdar maupun artinya.
Secara bahasa, arti mursalat adalah lepas.Sedangkan definisi al-Mashlahah
al-Mursalah secara istilah adalah maslahat atau manfaat yang tidak
disyariatkan oleh Syaari’ dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan
kemaslahatan, bersamaan dengan tidak adanya dalil khusus yang membenarkan
ataupun menyalahkannya.[4] Dengan kata
lain, al-Mashlahah al-Mursalah adalah suatu kegunaan yang tidak ada petunjuk
dari Syaari’ untuk menerima atau mengabaikannya. Ia disebut mursalat karena
Syaari’ membiarkannya, Syaari’ tidak menentukannya sebagai
pegangan dan tidak pula menentukan untuk mengabaikannya (dengan tidak adanya
dalil yang menunjukkan pada hal tersebut)[2].
Misalnya adalah kemaslahatan yang menuntut bahwasanya pernikahan yang tidak
mendapat akte resmi, maka pengakuan terhadap pernikahan itu tidak didengar
ketika terjadi pengingkaran.
Banyak definisi yang diungkapkan oleh para ulama mengenai al-Mashlahah
al-Mursalah, namun pada intinya dapat diambil kesimpulan bahwasanya hakikat
al-Mashlahah al-Mursalah adalah setiap manfaat yang tidak didasarkan
pada nash khusus yang menunjukkan diakui atau tidaknya manfaat tersebut.
Asy-Syatibi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa al-Mashlahah
al-Mursalah adalah setiap prinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus,
namun sesuai dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil
syara’. Sehingga demikian, al-Mashlahah al-Mursalah itu jangan dipahami
tidak memiliki dalil untuk dijadikan sandarannya atau jauh dari dalil-dalil
pembatalnya. Tapi harus dipahami bahwa al-Mashlahah al-Mursalah berdasarkan
pada dalil yang terdapat dalam syara’, namun dalil tersebut tidak dikhususkan
terhadap al-Mashlahah al-Mursalah tersebut.[6]
B.
Macam-macam al-Mashlahat
Al-Mashlahat ditinjau dari
kesesuaianya dengan kesaksian syariat Islam, dengan tujuan dari syariat
Islam itu sendiri, terbagi menjadi 3, yaitu:[7]
1.
Al-Mashlahah al-Mu’tabarah ((المصلحة المعتبرة, yaitu mashlahat yang
diperhitungkan oleh syara’. Maksudnya adalah mashlahat yang didukung
oleh dalil syara’ untuk memeliharanya. Dalil syara’ tersebut bisa langsung
maupun tidak langsung dalam memberikan petunjuk. Dalam hal tersebut, mashlahat
terbagi lagi menjadi dua, yaitu:[8]
a)
Al-Munaasib al-mu’atstsir المناسب المؤثر)), yaitu mashlahat yang ada petunjuk langsung dari Syaari’,
baik berupa nash, ijma’ maupun qiyas. Contohnya seperti mashlahat
yang terdapat dalam larangan mendekati perempuan yang sedang dalam keadaan
menstruasi dengan alasan menstruasi itu adalah penyakit. Kemaslahatan dari
larangan tersebut adalah menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:[9]
الْمَحِيْضِ فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي هُوَ
قُلْ الْمَحِيْضِ عَنِ يَسْئَلُوْنَكَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu
adalah penyakit; oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid.”
b)
Al-Munaasib
al-mulaaim ((المناسب الملائم, yaitu mashlahat yang tidak ada dalil syara’ secara
langsung yang menunjukkannya, baik berupa nash, ijma’ atau qiyas.
Namun ada dalil yang secara tidak langsung menunjukkan kepadanya. Contohnya
seperti diperbolehkannya jama’ shalat bagi orang yang muqim (penduduk
setempat) karena hujan. Keadaan hujan ini memang tidak pernah dijadikan alasan
untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan
keadaan yang sejenis dengan hujan, yaitu “dalam perjalanan” menjadi alasan
untuk bolehnya jama’ shalat.
2.
Al-Mashlahah
al-Mulghah (المصلحةالملغاة),
yaitu mashlahat yang diabaikan. Maksudnya adalah mashlahat yang
dianggap baik oleh akal namun tidak ada dalil syara’ yang memperhatikannya
bahkan ada dalil yang menolaknya. Contohnya pada masa kini masyarakat telah
mengakui adanya emansipasi wanita untuk menyamakan kedudukan derajatnya
dengan laki-laki. Akal menganggap adanya mashlahat dengan menyamakan hak
wanita dengan hak laki-laki dalam hal warisan. Hal inipun dianggap sejalan
dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah SWT. Padahal hukum Allah
telah jelas yaitu hak waris anak laki-laki itu sama dengan dua kali lipatnya
hak waris anak perempuan, dan hal ini ternyata berbeda dengan apa yang dianggap
oleh akal tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an:
.الله يوصيكم في أولادكم للذكرمثل حظ الانثيين
“Allah mensyariatkan pada
kalian semua (tentang bagian warisan) untuk anak-anak kalian, yaitu untuk
laki-laki dua kali bagian perempuan.”
3.
Al-Mashlahah
al-Maskuut ‘anha (المصلحةالمسكوت عنها), yaitu mashlahat yang dianggap baik oleh akal serta
tidak didukung maupun tidak ditentang oleh dalil syara’ yang khusus, akan
tetapi kemaslahan tersebut sejalan dengan dalil ‘aam kulliy. Sehingga mashlahat
tersebut tidak didasarkan pada dalil khash tertentu tapi didasarkan
pada maqaashid asy-syarii’ah. Mashlahat ini disebut dengan al-Mashlahah
al-Mursalah.
Sedangkan
mashlahat dipandangberdasarkan pada tujuan asal syariat Islam yang
kembali kepada penjagaan hal pokok itu terbagi menjadi 5, yaitu:
a.
Mashlahat
yang kembali pada penjagaan agama.
b.
Mashlahat
yang kembali pada penjagaan jiwa.
c.
Mashlahat
yang kembali pada penjagaan akal.
d.
Mashlahat
yang kembali pada penjagaan keturunan.
e.
Mashlahat
yang kembali pada penjagaan harta.
Kelima prinsip pokok di atas itu disebut dengan adl-Dlaruuriyyaat
al-Khamsi dan juga disebut Maqaashid asy-Syarii’ah. Kelima prinsip
dasar tersebut merupakan hal pokok yang diperhatikan oleh Syaari’ dalam
keseluruhan hukumnya. Mustahil Syaari’ mengabaikan salah satunya, bahkan
keseluruhan tuntutan syariat Islam itu seputar penjagaan dan pemeliharaan
kelima hal tersebut.[10]
Sedangkan mashlahat dipandang dari segi kekuatannya untuk
dijaga itu terbagi menjagi tiga, yaitu:[3]
1)
المصلحةالضرورية, yang disebut dengan Dar’ al-mafaasid (mencegah
kerusakan). Mashlahat ini adalah kemaslahatan primer yang menempati
posisi darurat, sekiranya kemaslahatan ini tidak ada maka salah satu atau
keseluruhan lima prinsip dasar di atas juga rusak. Mashlahat ini
menempati posisi teratas untuk dijaga. Sehingga segala usaha yang secara
langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip dasar tersebut
adalah mashlahat pada tingkat dlaruuri. Contohnya Allah melarang
murtad untuk memelihara agama; melarang membunuh untuk memelihara jiwa;
melarang minum minuman keras untuk memelihara akal; melarang berzina untuk
memelihara keturunan; melarang mencuri untuk memelihara harta.
2)
المصلحةالحاجية, yang disebut dengan Jalb al-mashaalih (menarik
kemanfaatan). Mashlahat ini adalah kemaslahatan sekunder yang menempati
posisi kebutuhan (hajat), dan tidak sampai pada posisi darurat. Apabila
kemaslahatan ini terpenuhi maka akan menghasilkan kemudahan dan kemanfaatan.
Bentuk kemaslahatannya tidak langsung bagi pemenuhan kelima prinsip dasar
agama, tetapi hanya secara tidak langsung menuju ke sana seperti dalam hal-hal
yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Seperti menuntut
ilmu agama untuk tegaknya agama, melakukan akad jual beli untuk mendapatkan
harta, dan lain sebagainya.
3)
المصلحةالتحسينية, yang disebut dengan penyempurna. Mashlahat ini tidak
barada pada posisi darurat maupun hajat, hanya sebatas kemaslahatan tertier
yang perlu untuk dipenuhi guna menyempurnakan akhlak dan mengikuti jalan
terbaik. Hal ini untuk menyempurnakan dan memperindah hidup manusia.[4]
Contohnya seperti larangan memakan makanan yang najis.
C. Syarat-Syarat
Maslahat al-Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum
(Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi,
sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang
merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya
sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
a.
Maslahah Mursalah tidak
boleh bertentangan dengan Maqosid Al Syari’ah, dalil-dalil kulli’, semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz’i
yang qathi wurud dan dalalahnya. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang
mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju
oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
b.
Kemaslahatan tersebut
harus menyakinkan, dan tidak ada keraguan,
dalam arti harus ada pembahasan dan penilitian yang rasional serta
mendalam sehingga kita yakin menberkan manfaat atau menolak kemudharatan.
c.
Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang
tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali
memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu
contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum
muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara
kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang,
dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin
memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini
dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara
kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan
musuh-musuh mereka.
d.
Maslahah itu bukan
maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak membenarkannya,
dan tidak menganggap salah.
D. Kehujjahan al-Mashlahah al-Mursalah
Mencegah kerusakan dan menarik kemanfaatan merupakan dasar dari
tujuan syariat Islam yang disepakati oleh para ulama. Tetapi para ulama berbeda
pendapat dalam penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai hujjah. Para
ulama yang berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah merupakan bagian
dari pencegahan kerusakan dan penarikan kemanfaatan maka menganggapnya sebagai
dalil dan bisa dijadikan hujjah. Sedangkan para ulama yang tidak berpendapat
demikian bahkan berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah termasuk
membuat syariat berdasarkan pada nalar dan pembuatan hukum berdasarkan akal dan
hawa nafsu menganggapnya bukan termasuk dalil syara’ dan bisa digunakan sebagai
hujjah.
Imam Malik beserta para pengikutnya adalah kelompok yang secara
jelas menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai metode ijtihad.
Sedangkan pandangan ulama Hanafiyyah terhadap al-Mashlahah al-Mursalah ini
terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan
bahwa ulama Hanafiyyah tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Quddamah,
sebagian ulama Hanafiyyah menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah. Tampaknya
ulama yang berpendapat bahwa sebagian ulama Hanafiyyah menggunakan metode ini
lebih tepat, karena kedekatan metode ini dengan al-Istihsan yang populer
di kalangan ulama Hanafiyyah.[5]
Ulama Syafi’iyyah tampaknya tidak menggunakan al-Mashlahah
al-Mursalah dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn
al-Haajib. Imam Syafi’i sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitab
standarnya, ar-Risaalah. Namun Imam al-Ghazali sebagai pengikut Imam
Syafi’i dalam dua kitabnya (al-Madkhul dan al-Musytasfa) secara
tegas menyatakan bahwa beliau menerima penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah
dengan syarat al-Mashlahah al-Mursalah itu bersifat dlaruuri (menyangkut
kebutuhan pokok dalam kehidupan), qath’i (pasti), dan kulli (menyeluruh).
Sedangkan ulama Hanabilah menurut pendapat yang shahih mengatakan bahwasanya al-Mashlahah
al-Mursalah tidak memiliki kekuatan hujjah dan tidak boleh melakukan
ijtihad dengan menggunakan metode ini.[6]
D.
Argumentasi Penggunaan dan Tidaknya al-Mashlahah al-Mursalah Sebagai Hujjah
Argumentasi para ulama yang berpendapat bahwa al-Mashlahah
al-Mursalah merupakan hujjah dan bisa dijadikan sebagai metode ijtihad
adalah sebagai berikut:
a.
Adanya pengakuan Rasulullah SAW. atas penjelasan sahabat Mu’adz ibn
Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan
ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum.
Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau sesuatu yang
dianggap mashlahat. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk
mencari dukungan nash.[7]
b.
Adanya praktek al-Mashlahah al-Mursalah yang meluas
dikalangan para sahabat Nabi pada kejadian-kejadian yang masyhur. Di antaranya
adalah penyerahan kepemimpinan yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar kepada
sahabat ‘Umar ibn al-khaththab, pembentukan dewan-dewan dan pencetakan mata
uang pada masa khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab, penyatuan cara baca al-Qur’an (qiraa’at)
pada masa khalifah ‘Utsman dan lain sebagainya.[17]
c.
Kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya.
Maka jika sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi kemaslahatan
umat manusia yang terus bermunculan dan pembetukan hukum hanya berkisar pada
berbagai kemaslahatan yang diakui oleh Syaari’ saja maka akan banyak
kemaslahatan manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman, dan
pembentukan hukum tidak mengikuti roda perkembangan manusia dan kemaslahatan
mereka. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dalam pembentukan hukum
sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan umat manusia.[18]
d.
Suatu mashlahat bila telah nyata kemaslahatnnya dan telah
sejalan dengan maksud Syaari’, maka penggunaan mashlahat tersebut
berarti telah memenuhi tujuan Syaari’, meskipun tidak ada dalil khusus
yang mendukungnya.sebaliknya bila tidak digunakan untuk menetapkan suatu
kemaslahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan yang
dimaksud ole Syaari’. Melalaikan tujuan Syaari’ adalah perbuatan
yang batal. Karena itu dalam menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah itu
sendiri tidak keluar dari prinsip syara’, bahkan sejalan dengannya.[19]
Sedangkan kelompok para ulama yang menolak al-Mashlahah
al-Mursalah sebagai metode ijtihad mengemukakan argumentasi yang di
antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Bila
suatu mashlahat ada petunjuk syar’i yang membenarkannya atau yang
disebut mu’tabarah, maka ia termasuk dalam umumnya qiyas.
Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin
disebut sebagai suatu mashlahat. Mengamalkan sesuatu yang di luar
petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya al-Qur’an maupun
as-Sunnah. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah Nabi.
Padahal al-Qur’an dan Sunnah Nabi menyatakan bahwa keduanya itu telah sempurna
dan meliputi semua hal.
2.
Beramal
dengan mashlahat yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari nash akan
membawa kepada pengamalan hukum yang berandaskan pada kehendak hati dan menurut
hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip Islami. Keberatan
al-Ghazali untuk menggunakan al-Istihsan dan al-Mashlahah al-Mursalah
sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya (taladzdzudz)
dan beliau menetapkan syarat yang berat untuk menetapkan hukum.
3.
Menggunakan
mashlahat dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan
mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi
prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu “tidak boleh merusak, juga tidak ada
yang rusak”.
4.
Seandainya
dibolehkan berijtihad dengan mashlahat yang tidak mendapat dukungan dari
nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena
alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’, juga
karena berlainan antara seseorang dengan orang yang lain. Dalam keadaan
demikian, tidak akan ada kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip
hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.
E.
Syarat-syarat Berhujjah Menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah
Para ulama yang menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai
hujjah bersikap hati-hati terhadapnya, sehingga ia tidak menjadi pintu bagi
pembentukan hukum menurut hawa nafsu dan kesenangan. Oleh karena itu, mereka
mensyaratkan syarat-syarat khusus dalam penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah sebagai
hujjah, di antaranya adalah:
1.
Al-Mashlahah al-Mursalah itu
adalah mashlahat yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti bukan dugaan
saja dan dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan
manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudlarat dari manusia secara utuh.
2.
Mashlahat tersebut tidak
berbenturan dengan dalil nash, ijmaa’ maupun qiyas.
3.
Mashlahat tersebut
sejalan dengan tujuan syariat Islam dalam menetapkan setiap hukum, yaitu
mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
4.
Al-Mashlahah al-Mursalah itu
diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, bersifat dlaruri, yang
seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada
dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat
dari kesulitan dan kondis darurat.
5.
Mashlahat tersebut tidak
bertentangan dengan mashlahat lain yang lebih unggul atau setidaknya
sama dengan mashlahat tersebut, serta mengamalkan kemaslahatan tersebut
tidak sampai menyebabkan kerusakan pada kemaslahatan lain yang lebih unggul
atau sama tingkatannya.
Dari pensyaratan di atas terlihat jelas bahwa ulama yang
menggunakan al-Mashlahah al-Mursalah dalam berijtihad cukup berhati-hati
dalam menggunaknnya, karena meski bagaimana juga apa yang dilakukan ulama ini
adalah keberanian menetapkan dalam hal-hal yang pada waktu itu tidak ditemukan
petunjuk hukum.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Al-Mashlahah al-Mursalah adalah
maslahat atau manfa’at yang tidak disyariatkan oleh Syaari’ dalam wujud
hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan, bersamaan dengan tidak adanya
dalil khusus yang membenarkan ataupun menyalahkannya.
2.
Al-Mashlahat ditinjau dari
kesesuaianya dengan kesaksian syariat Islam, dengan tujuan dari syariat
Islam itu sendiri, terbagi menjadi 3, yaitu:
Ø
Al-Mashlahah al-Mu’tabarah (المصلحةالمعتبرة).
Ø
Al-Mashlahah al-Mulghah (المصلحةالملغاة).
Ø
Al-Mashlahah al-Maskuut ‘anha (المصلحةالمسكوت
عنها),yang disebut dengan
al-Mashlahah al-Mursalah.
Sedangkan
mashlahat dipandangberdasarkan pada tujuan asal syariat Islam yang
kembali kepada penjagaan hal pokok itu terbagi menjadi 5, yaitu:
Ø
Mashlahat yang kembali pada penjagaan agama.
Ø
Mashlahat yang kembali pada penjagaan jiwa.
Ø
Mashlahat yang kembali pada penjagaan akal.
Ø
Mashlahat yang kembali pada penjagaan keturunan.
Ø
Mashlahat yang kembali pada penjagaan harta.
Sedangkan
mashlahat dipandang dari segi kekuatannya untuk dijaga itu terbagi
menjagi tiga, yaitu:
Ø
المصلحةالضرورية, yang disebut dengan Dar’ al-mafaasid (mencegah
kerusakan). Mashlahat ini adalah kemaslahatan primer.
Ø
المصلحةالحاجية, yang disebut dengan Jalb al-mashaalih (menarik
kemanfaatan). Mashlahat ini adalah kemaslahatan sekunder.
Ø
المصلحةالتحسينية, yang disebut dengan penyempurna. Mashlahat ini adalah
kemaslahatan tertier.
3.
Para
ulama yang berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah merupakan bagian
dari pencegahan kerusakan dan penarikan kemanfaatan maka menganggapnya sebagai
dalil dan bisa dijadikan hujjah. Sedangkan para ulama yang tidak berpendapat
demikian bahkan berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah termasuk
membuat syariat berdasarkan pada nalar dan pembuatan hukum berdasarkan akal dan
hawa nafsu menganggapnya bukan termasuk dalil syara’ dan bisa digunakan sebagai
hujjah.
4.
Argumentasi
para ulama yang berpendapat bahwa al-Mashlahah al-Mursalah merupakan
hujjah dan bisa dijadikan sebagai metode ijtihad adalah adanya pengakuan
Rasulullah SAW. atas penjelasan sahabat Mu’adz ibn Jabal, adanya praktek al-Mashlahah
al-Mursalah yang meluas dikalangan para sahabat Nabi pada kejadian-kejadian
yang masyhur, dan lain sebagainya.
5.
Syarat-syarat
penggunaan al-Mashlahah al-Mursalah adalah mashlahatnya hakiki dan
bersifat umum, mashlahat tersebut tidak berbenturan dengan dalil nash,
ijmaa’ maupun qiyas, mashlahat tersebut sejalan dengan tujuan
syariat Islam dalam menetapkan setiap hukum, al-Mashlahah al-Mursalah itu
diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, bersifat dlaruri, mashlahat tersebut
tidak bertentangan dengan mashlahat lain yang lebih unggul atau
setidaknya sama dengan mashlahat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. 1998. 117.
[2] ‘Abdullah M.
al-Husayn al-‘Amiri, Dekonstruksi sumber Hukum Islam; Pemikiran Hukum Najm
ad-Din Thufi, terj. Abdul Basir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), 101.
[3] Muhammad bin
Husayn bin Hasan al-Jayzani, Ma’alim Ushul al-Fiqh (Saudi: Daar Ibn
al-Jawzi, 1424), 242.
[4] ‘Abd al-Wahhab
Khallaf. Ilmu Ushul al-Fiqh. Indonesia: Al-Haramain. 2004. 84.
[5] Jaih Mubarok, Metodologi
Ijtihad Hukum Islam.Yogyakarta: UII Press. 2002. 164.
[6] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, 120-1.
[7] Muhammad
al-Jayzani, Ma’alim, 242-3.
[8] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.1999.vol. II, 329.
[10] Muhammad
al-Jayzani, Ma’alim, 243-4.
[11] Ibid, 244-5.
[12] Ibid, 245.
[13] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqih, 328.
[14] Ibid, 336.
[15] Ibid, 336-7.
[16] Ibid, 338.
[17] Muhammad
al-Jayzani, Ma’alim, 247.
[18] ‘Abd al-Wahhab
Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, 85.
[19] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqih, 338
[1] Muhammad bin Husayn bin Hasan
al-Jayzani, Ma’alim Ushul al-Fiqh,Saudi, Daar Ibn al-Jawzi, hal: 242.
[2] Jaih Mubarok, Metodologi
Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta, UII Press, 2002, hal: 164.
[3] Ibid, hal: 224-225.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal: 329.
[5] Ibid, hal: 336.
[6] Ibid, hal: 336-337
[7] Ibid, hal: 338.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar