A. PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Al-Quran, kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek
kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman
Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang
tercangkup dalam ulumul quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang
keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang membahas tentang Muhkam Mutasyabbih
ayat.
Sehubungan
dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah mengemukakan tiga pendapat
mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih.
Pertama, seluruh ayat
Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS. Hud : 1,
sebagai berikut :
الرَكِتَبُ
اُحْكِمَتْ ايتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَّدُ نْ حَكِيْمُ خَبِيْرٍ (1)
Kedua, seluruh
ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS.
Az-Zumar : 39, sebagai berikut :
قُلْ ياقَوْ
مِ اعملواعلي مكا نتكم اني عا مل فسوف تعلمون (39)
Ketiga, pendapat
yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkan
dan mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. ‘Ali Imran : 7,
sebagai berikut :
هو ا لذي انز
ل عليك الكتب منه ا يات محكمات هن ا م الكتاب و ا خر متشبهات فاما ا الذين في قلو
بهم زيغ فيتبعون ما تشا به منه ابتغاء الفتنة وابتغاءتأ ويله وما يعلم ويله الا
الله والر سخون فى العلم يقو لون ا منا به كل من عند ربنا وما يذ كر الا
اولواالالباب[1]
Muhkam Mutasyabbih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini
dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian/pemahaman
Al-Quran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya
perbedaan pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah
pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabbih. Bahasa Al-Quran ada kalimat yang
jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mitasyabih), hingga dalam penafsiran
Al-Quran (tentang ayat muhkam mutasyabih) terdapat perbedaan-perbedaan.[2]
Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran
khususnya dalam ranah Muhkam Mutasyabbih, maka kelompok kami menyusun makalah
yang membahas tentang kedua hal tersebut dengan judul “ Al-Muhkam
Al-Mutasyabih”. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal
yang berhubungan dengan Muhkam dan Mutasyabbih, akan dijelaskan dalam bab
berikutnya yaitu bab pembahasan.
2. Rumusan Masalah
Dalam suatu karangan ilmiah haruslah disusun secara sistematis dan runtut
sesuai dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu untuk menyusun suatu
rumusan masalah yang menjadi batu pijakan untuk pembahasan pada makalah ini.
Adapun rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut;
1.
Apa pengertian dari Al-Muhkam dan
Al-Mutasyabih?
2.
Bagaimana sebab-sebab adanya
Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
3.
Apa macam-macam dari Al-Muhkam dan
Al-Mutasyabih?
4.
Bagaimana sikap para ulama terhadap
adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih?
5.
Apa faedah dari adanya Al-Muhkam dan
Al-Mutasyabih?
3. Tujuan
Adanya suatu
diskusi dalam kelas yang kita lakukan sudah barang tentu semuanya mempunyai
tujuan masing-masing dan boleh jadi tujuan tersebut berbada ataupun sama.
Sedang pembelajaran pada saat ini yaitu dengan judul “Al-Muhkam Al-Mutasyabih”
mempunyai beberapa tujuan diantaranya adalah:
1.
Dapat mengetahui pengertian dari
Muhkam dan Mutasyabih.
2.
Dapat memahami sebab-sebab adanya
al-Muhkam dan al-Mutasyabih.
3.
Dapat mengerti macam-macam dari
Muhkam dan Mutasyabih.
4.
Dapat membedakan bagaimana sikap
para ulama terhadap adanya ayat-ayat al-Mutasyabih.
5.
Dapat memahami faedah dari adanya
al-Muhkam dan al-Mutasyabih.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Al-Muhkam Al-Mutasyabih
Manna’
Khalil Al-Qattan menjelaskan Muhkam dan Mutasyabih dalam buku studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, bahwa menurut bahasa Muhkam berasal dari kata حكمت
الد ابة واحكمت yang artinya “saya menahan binatang itu”, juga bisa
diartikan,”saya memasang ‘hikmah’ pada binatang itu”. Hikmah dalam ungkapan ini
berarti kendali. Muhkam
berarti (sesuatu) yang dikokohkan, jadi kalam Muhkam adalah perkataan yang
seperti itu sifatnya. Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila
salah satu dari 2 (dua) hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain, karena
adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Jadi,
tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagainya
membetulkan sebagian yang lain.[3]
Sedangkan
menurut terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama,
seperti berikut ini;
a) Ayat-ayat muhkam
adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil
ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang
maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat,
keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah. (Kelompok Ahlussunnah)
b) Ibn Abi
Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani
dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang harus
diimani, tetapi tidak harus diamalkan.[4]
c) Mayoritas
Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas mengatakan, lafadz muhkam
adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan melainkan hanya satu arah/segi saja.
Sedangkan lafadz yang mutasyabbih adalah lafadz yang bisa ditakwilkan dalam
beberapa arah/segi, karena masih sama (semakna-red).[5]
Dari
pengertian-pengertian ulama diatas, sudah dapat disimpulkan bahwa inti
pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah
jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Yang
termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam itu nash (kata yang menunjukkan
sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas) dan zhahir (makna lahir).
Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih adalah mujmal
(global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil, dan mubham
(ambigius).
2.
Sikap Para
Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih
Para ulama
berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat
diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber
perbedaan mereka terdapat dalam pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran
: 7
Dalam
memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang pertama, Wa al-rasikhuna
fi al-‘ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna
sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun
diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya.[1]
Yang kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaquluna
sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya
diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya
mengimaninya.[7]
Ada sedikit
ulama yang berpihak pada ungkapan gramatikal yang pertama. Seperti Imam
An-Nawawi, didalam Syarah Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang
paling shahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan
uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayatpun
yang maksudnya hanya diketahui Allah. Para ulama sesungguhnya juga
mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”.[2]
Namun
sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah
berpihak pada gramatikal ungkapan yang kedua. Seperti pendapat dari;
1. Al-Bukhari,
Muslim, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari QS. Ali
Imran ayat 7;
...فا ماالذين فى قلوبهم زيغ
فيتبعون ماتشابه منه ا بتغاءالفتنةوا بتغاءتأويله الاالله ......
“Jika engkau
menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan
fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela Allah, maka
berhati-hatilah menghadapi mereka”.
2.
Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif,
mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa
diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan;
“Sesungguhnya
penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata, sedangkan orang-orang
yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih”.[9]
3.
Imam Malik pernah ditanya mengenai
pengertian lafadz istawa. Ia mengatakan: Istawa adalah diketahui. dan
bagaimananya adalah sesuatu yang tidah diketahui. Bertanya tentangnya adalah
Bid’ah.[10]
Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany mengambil jalan tengah dalam masalah ini.
Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga
bagan:
a.
Bagian yang tak ada jalan untuk
mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat.
b.
Bagian manusia menemukan sebab-sebab
mengetahuinya, seperti lafadz-lafadz yang ganjil, sulit difahami namun bisa
ditemukan artinya.
c.
Bagian yang terletak di antara dua
urusan itu yang hanya diketahui oleh Ulama’ yang mumpuni saja.[3]
3. Sebab-Sebab Adanya AyatMutasyabbih
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih ialah
karena Allah SWT menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat – ayat yang
Muhkam dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat
yang Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat – ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an
ialah karena adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat – ayat-Nya sehingga
sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena
bisa dita’wilkan dengan bermacam – macam dan petunjuknya pun tidak tegas,
karena sebagian besar merupakan hal – hal yang pengetahuanya hanya dimonopoli
oleh Allah SWT saja.
Adapun adanya ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an desebabkan 3 (tiga) hal:
a)
Kesamaran Lafal
a.
Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua):
Ø Kesamaran lafal Mufrad Gharib
(asing)
Contoh : Lafal
dalam ayat 31 surat Abasa : kata Abban jarang terdapat dalam al-Qur’an, sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya , ayat 32 : (untuk
kesenangan kamu dan binatang – binatang ternakmu), sehingga jelas dimaksud
Abban adalah rerumputan.
Ø Kesamaran Lafal Mufrad yang
bermakna Ganda. Kata Al – Yamin bisa bermakna tangan kanan, keleluasan atau
sumpah.
b.
Kesamaran dalam Lafal Murakkab
Kesamaran dalam
lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab terlalu ringkas,
terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.
b)
Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada makna ayat seperti
dalam ayat – ayat yang menerangkan sifat – sifat Allah, seperti sifat rahman
rahim-Nya, atau sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat – sifat lainnya. Dan
seperti makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan
sebagainya manusia bisa mengerti arti maksud ayat-Nya, sedangkan mereka tidak
pernah melihatnya.
c)
Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Seperti, ayat 189 surat Al –
Baqarah:
... وليس البربا ن تأ
تواالبيوت من ظهورها ولكن البرمن اتق
.....
“Dan bukanlah kebijakan
memasuki rumah – rumah dari belakangnya, akan tetapi kebijakan itu ialah kebijakn
orang – orang yang bertakwa”
Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu
ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiasaan khusus
orang arab. Hingga dalam memahami ayat ini akan sulit bagi orang-orang yang
bukan termasuk orang arab. Dan sejatinya ayat ini adalah diperuntukkan untuk
orang yang sedang melakukan ihrom baik
haji maupun umroh.
4. Macam Macam Ayat Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam – macam
ayat Mutasyabihat ada 3 (tiga) macam:
a.
Ayat – ayat Mutasyabihat yang tidak
dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. Contoh Q.S. Al –
An’am : 59
....وعنده مفا تح الغيب
لايعلمهاالاهو
“Dan pada sisi Allah–lah kunci – kunci semua yang ghaib, tak ada yang
mengetahuinya, kecuali Dia sendiri” (Q.S. Al – An’am : 59)
b.
Ayat – ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan
jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh : pencirian mujmal,
menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang
tertib, dst.
c.
Ayat – ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu
dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk urusan
– urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang – orang yang rosikh
(mendalam) ilmu pengetahuan.[4]
5. Faedah Ayat-Ayat Muhkamat dan Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam pembahasan ini perlu
dijelaskan faedah atau hikmah ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan
faedah ayat-ayat mutasyabihat.
1)
Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a.
Menjadi rahmat bagi manusia,
khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam
yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b.
Memudahkan bagi manusia mengetahui
arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna
maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c.
Mendorong umat untuk giat memahami,
menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya
telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d.
Menghilangkan kesulitan dan
kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan
sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu
penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
2)
Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
a.
Memperlihatkan kelemahan akal
manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih
sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal
yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang
yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan
tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi
penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya
untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b.
Teguran bagi orang-orang yang
mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma
yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang
mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi
orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa
nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata
rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan
mengharapkan ilmu ladunni.
c.
Membuktikan kelemahan dan kebodohan
manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan
kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan
kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d.
Memperlihatkan kemukjizatan
Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari
sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu
ciptaan Allah SWT.
e.
Mendorong kegiatan mempelajari
disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. [13]
C. PENUTUP
1.
Kesimpulan
Muhkam adalah
ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan
pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas.
Ulamak berbeda pendapat dalam hal
memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara bisa tidaknya manusia
memahami/memaknai ayat-ayat mutasyabihat.
Sebab munculnya ayat muhkam
mutasyabih terbagi menjadi tiga tinjauan yaitu, Adanya kesamaran dalam lafadz,
kesamaran makna ayat dan kesamaran makna dan ayat.
Terdapat tiga macam ayat mutasyabih
yaitu ayat yang tidak bisa difahami oleh manusia, yang bisa difahami semua
orang dengan pemahaman yang dalam dan ayat yang bisa difahami oleh pakarnya
saja.
Terdapat hikmah adanya ayat-ayat
muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar masuk pada tataran pemafaman
dan penggunaan logika akal.
2. Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui
perbedaan antara ulamak satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, kita sebagi
mahasiswa tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang
lainnya. Karena setiap pendapat yang dikeluarkan oleh para ulamak tentunya
semuanya memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qattan,
Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Lintera Antar Nusa. 2009.
Anwar,
Rosihon. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Media. 2004.
Djalal,
Abdul. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu. 2008.
Hadi, Abd. Pengantar
Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Surabaya: Graha Pustaa Islamic Media. 2010.
Hermawan, Acep.
Ulumul Quran:Ilmu Untuk Memahami Wahyu, Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
2011.
Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel. Studi Al-Qur’an. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press.
2012.
Zenrif, MF. Sintesis
Paradigma Studi Al-Quran. Malang: UIN Malang Perss. 2008.
[10]Acep
Hermawan, Ulumul Quran: ilmu Untuk Memahami Waahyu, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), 146
[11] Abd. Hadi,
Pengantar Study ilmu-Ilmu Al-Quran, Surabaya, Graha Pustaka Islamic Multimedia,
2010), 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar